Sabtu, 22 Desember 2012

AMANAH DAN KEMENANGAN


Kalau kita perhatikan dengan seksama pada kitab suci Al-Qur’an, terdapat tiga kata sepadan yang semuanya terbentuk dari hufuf alimimdan nun yaitu aman, amanah, dan iman. Ketiga kata tersebut hampir serupa dan berhubungan satu sama lain yakni merujuk kepada ketenangan atau tuma’ninah. Aman merupakan hilangnya bebas dari rasa takut, amanah menunjukkan kepercayaan, dan iman berarti pembenaran dan ketetapan (iqrar) serta amal perbuatan yang kesemuanya mengandung makna ketenangan.

Perilaku amanah adalah salah satu perilaku dan pengajaran tertinggi yang diwajibkan dalam ajaran Islam. Amanah ini merupakan nilai dan kekayaan yang sangat besar serta mendasar dalam agama Islam dan bahkan agama ini sendiri merupakan amanah dari Allah SWT.

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (QS. 33:72).

Amanah merupakan akhlak dan ciri keimanan seseorang. Seseorang akan menjadi baik dan bersih dengan adanya keimanan dalam dirinya yang menyebabkan ia memiliki rasa kedekatan dengan Allah SWT. Keyakinan akan kemahakuasaan Allah akan menyebabkan seseorang takut untuk berbuat yang menyalahi akhlak dan keimanannya sendiri tersebut.

Amanah juga menjadi kekuatan dan bekal paling besar yang dimiliki seseorang dalam mengarungi kehidupan. Pengaruh akan kekuasaan, tahta, dan kemuliaan semata di dunia akan segera tertepis dan terkontrol oleh adanya amanah dalam diri seseorang sehingga dapat menghindarkannya dari penyelewengan, pengkhianatan, serta kesombongan.

Dalam perilaku sehari-hari, amanah memiliki arti tumbuhnya sikap untuk memelihara dan menjaga apa saja yang menjadi perjanjian atau tanggungan manusia berupa benda nyata atau bersifat maknawi. Hal ini senada dengan sabda Rasulullah SAW: “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya.”

Amanah memiliki makna yang sangat luas yang mencakup seluruh interaksi manusia, baik secara vertical kepada Sang Khalik maupun hubungan muamalah kepada sesame manusia dan alam semesta. Secara garis besar, amanah terbagi menjadi tiga bagian:

1.       Amanah dalam menunaikan hak-hak Allah SWT.
Mentauhidkan atau mengesakan Allah dalam beribadah, melaksanakan segala yang diperintahkan-Nya, menjauhi segala yang dilarang-Nya semata-mata untuk mengaharapkan keridhaan-Nya. Hal ini merupakan amanah yang terbesar dan wajib untuk kita laksanakan pertama kali sebelum amanah-amanah yang lainnya.

2.       Amanah dalam nikmat yang dianugerahkan Allah SWT.
Anugerah berupa jasmani dan rohani yang kita terima dari Allah ini adalah hal yang wajib kita syukuri dan menggunakannya sesuai fungsi dan ketentuan yang telah ditetapkan Allah. Dengan menggunakannya dalam hal menunaikan ibadah kepada-Nya, maka itu berarti kita merealisasikan amanah kepada Allah.

3.       Amanah dalam menunaikan hak sesama.
Segala harta, titipan, rahasia, aib dan kehormatan yang telah diamanatkan seseorang kepada kita, maka kita wajib untuk menjaga dengan sebaik-baiknya. “Sesungguhnya Allah menyuruh  kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, juga firman Allah yang menyebutkan sifat-sifat orang mukmin yang berhak mendapatkan surge Firdaus dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.” (QS. 23:8).

Berkaitan dengan ayat Allah yang menyatakan kesombongan manusia yang bersedia mengemban amanah yang sebelumnya telah ditolak oleh langit, bumi, dan gunung (penolakan ini karena kelemahan bukan seperti konteks penolakan iblis ketika diseru untuk sujud kepada Nabi Adam As.), menggambarkan betapa merugi dan menyesalnya nanti kita sebagai manusia apabila menyia-nyiakan segala amanah tersebut.

Namun, siapa saja yang mampu menjaga serta menunaikannya maka ia akan mendapatkan kemenangan dan pahala yang besar. Oleh karena itu Allah menyebut hamba-Nya dengan sebutan mukmin karena hanya orang-orang mukminlah yang mampu menjaga amanat-amanat Allah. “Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya,” (QS. 23:8). Wallahu alam bissawaf.

[Disadur dari Buletin Dakwah An-Nuur ed. 94]

Kamis, 29 November 2012

Nasehat Kehidupan

Musibah terbesar ummat manusia adalah kematian, maka selayaknyalah kita terus mengingat dan mempersiapkan diri akan kedatangannya. Ia seharusnya kita jadikan sebagai alarm dan penasehat kita dalam menjalani kehidupan dunia yang hanya sementara ini sebagaimana pesan sebuah hadits "Cukuplah kematian itu sebagai nasehat." (HR. Thabrani dan Baihaqi).

Ketika ia menghampiri maka apapun yang pernah kita miliki dan banggakan akan musnah seketika. Istri, anak, keluarga, pangkat, jabatan, harta, dan tentunya nyawa yang mengisi jasad ini akan terlepas kembali ke pemilik-Nya. Kita akan pulang menuju ke alam kubur menantikan kehidupan berikutnya yaitu akhirat dan meninggalkan dunia ini untuk selamanya.

Melupakan kematian akan menyebabkan kita kehilangan nasehat yang akan mengingatkan kita akan tindak-tanduk kita berkehidupan. Kita akan mudah tergoda dan terperosok dalam kesenangan dunia yang melalaikan. Kita akan terlena mengejar kenikmatan dunia, bermegah-megahan, asik-asikan, dan akhirnya lupa untuk mempersiapkan bekal kehidupan akhirat sampai ajal menjemput kita, sehingga nantinya kita pasti akan menyesalinya.

Kematian juga merupakan guru yang baik. Ia memberikan pelajaran, makna hidup, dan menjadi pengawas kehidupan kita agar senantiasa berjalan pada jalur semestinya. Banyak pelajaran yang terkandung dalam peristiwa kematian seperti nilai-nilai berkehidupan, berinteraksi, dan menekan kesombongan dalam diri kita.

Dengan adanya kematian, kita akan menyadari bahwa kita bukanlah siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa. Ketika tiba waktunya, seorang manusia tidak akan mampu mengelak dan menolak meskipun dia memiliki kekuatan yang super, jabatan tertinggi, ataupun pangkat berbintang. Begitupun dengan harta yang telah kita kumpulkan seumur hidup kita dengan susah payah, tidak ada secuilpun yang akan kita bawa selain selembar kafan.

Tidak ada sesuatu yang menyebabkan kita akan menghargai betapa pentingnya waktu selain kematian. Tiada seorangpun yang mampu memprediksi kapan datangnya malaikat yang akan mencabut nyawa kita. Kita tidak pernah tahu berapa lama lagikah jatah waktu kita untuk hidup atau kapankah dunia ini akan berakhir. Sehingga kematian akan menyebabkan kita mewanti-wanti diri kita akan datangnya. "Perbanyaklah mengingat sesuatu yang melenyapkan semua kelezatan, yaitu kematian!" (HR. Tirmidzi).

"Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (dari padanya)." (QS. Al-Anbiya:1). Ayat tersebut memperingatkan kita agar tidak melalaikan nilai waktu karena dengan melalaikan waktu tersebut berarti kita sedang mengarahkan diri kita pada jurang kebinasaan. Dengan ayat tersebut selakyaknya kita akan memanfaatkan setiap detik waktu dengan ibadah dan dzikrullah.

[Disadur dari Buletin Dakwah An-Nur Forsitaca]